Selasa, 01 Desember 2009

Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya



Galuh Berarti Putri Bangsawan Atau Sejenis Batu Permata


Pengantar

Tanggal 16-19 Mei, di Tasikma­laya diadakan Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh. Se­minar yang diselenggarakan oleh Unsil bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh itu membahas sejarah Galuh ditinjau dari berbagai kaji­an, antara lain epigrafi, filologi, ar­keologi, numismatik dan seha­gainya.
Untuk membuka pemahaman pembaca terhadap “Galuh”, “PR” menurunkan tulisan ahli sejarah, Drs. Atja. Tulisan ini berupa maka­lah yang juga disampaikan pada se­minar di Tasikmalaya itu. Kami muat secara bersambung mulai hari ini. (redaksi)
Toponim suatu tempat sering sangat penting bagi suatu kajian serajah, karena di dalamnya terkandung nilai sejarah baik yang berhubungan dengan lingkungan alam maupun dengan kehidupan manusia yang menempatinya. Di samping itu penamaan suatu tempat merupakan ciptaan manusia yang ­sengaja dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan, mitologi, legenda, sejarah dan lain-lain. Itulah sebabnya di sini akan dicoba ditelusuri nama tempat dalam pasang surutnya, yang menjadi sorotan kini ialah “Galuh”, dan tempat lainnya yang diperkirakan ada kaitannya.
Seorang pakar yang telah memperhatikan dengan saksama perihal nama “Galuh” ialah mendiang Prof. Dr. R. Ng Poerbatjaraka (ba­ca: Purbocoroko). Beliau menulis sebuah makalah secara khusus tentang Galuh dalam majalah “Baha­sa dan Budaya”. Tahun III, No.2, December 1954, halaman 6-10, berjudul: “3 Galuh”.
Untuk mencari arti leksikal, be­liau membuka kamus Jawa (Geric­ke & Roorda 1901, II), galuh, Kw. zva. putri orang bangsawan dan de­wi (Skt. galu, sejenis batu perma­ta). KN nama kabupaten di dalam Keresidenan Cerbon, zaman dulu kota kerajaan. Di dalam kamus Purwodarminto; galuh kl. (kesu­sastraan lama) ratna (intan); putri (anak raja). Di dalam Kw. Bal. Ned. Wdb Van den Tuuk, kata ga­luh diterangkan dengan panjang le­bar, tetapi artinya: I. antara lain juga cuma mengelilingi arti putri dan permata (emas), II. Nama kerajaan di tanah Jawa (zaman Kuna).
Galuh sebagai nama sebuah ke­rajaan di Tanah Jawa zaman kuno, Prof. Poerbatjaraka menyebutkan :
I. Terdapat hampir di tiap-tiap Serat Babad yang menceritakan “zaman itu”. Beliau memberi contoh di dalam Serat Babad No. 1 yang disimpan di Lembaga Bahasa dan Budaya (kini: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), hlm. 257, tentang perangnya Raja Banjaransari yang bermusuhan de­ngan raja (jin) perempuan di Galuh.
II. Di dalam Babad Tanah Jawi, sebagai negara Arya Bangah (ed. Meinsma-Olthof 1941).
III. Di dalam Serat Aji Saka, se­bagai Raja Sindula, ayah Sang De­wata-cengkar, Negara Galuh ini di­ceritakan ketika diserang perang oleh Dewata-cengkar, sekonyong-­konyong ilang menjadi utan. (Serat Aji Saka oleh CF Winter 1857).
IV. Di dalam Carita Parahiyang­an, sebagai negara Raja Sanjaya. Sungguhpun cerita no. I, II, III itu cuma cerita sebagai dongeng pula, tetapi dongeng yang sangat mende­kati cerita riwayat (Riwayat Indo­nesia I 1952: 61).
V. Galuh ditambah Ujung, jadi Ujung-Galuh, nama tempat, yang dikatakan bula mengasingkan sang Jayakatwang, raja di Kediri oleh Raden Wijaya, Raja Majapahit yang pertama (Pararaton 1920).
VI. Ada nama Galuh pula yang ditambah awalan pra-, jadi Pragaluh, ialah nama desa atau daerah, yang terdapat pada batu tulis, yang terdapat di Desa Gandasuli (Ke­du), yang masih terletak di tempat­nya (De Casparis 1950: 62). Kabar inilah yang mempunyai derajat bahan epigrafi, yang di dalam ilmu pengetahuan sejarah sangat pen­tingnya.
VII. Galuh sebagai betul-betul nama ilmu bumi di Tanah Jawa, terdapat di dalam karangan CM Pleyte, seorang yang boleh dianggap ahli dalam ilmu Kesundaan, yang mengatakan bahwa Galuh se­karang ialah (ongeveer) Ciamis. (Pleyte 1913: (282).
Prof. Poerbatjaraka selanjutnya menunjuk kepada sebuah nama kampung: Begalon di sekitar Keraton Surakarta, menurut tradisi kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang menggosok intan berlian. Katanya, asal-mulanya na­ma kampung itu tentu: Pegalon, dari Pegaluan dari pegaluhan dari galuh pula. Barangkali keterangan “tempat pegawai tukang menggo­sok intan-berlian” itu, setelah galuh diberi arti “permata”. Karena itu Prof. Poerbatjaraka mengaju­kan pertanyaan; mungkinkah bah­wa kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang membuat ba­rang perak, barang perak upacara yang besar-besar seperti lancang, sumbul, bokor dan lain-lainnya, karena kampung itu sangat berde­katan dengan Kawatan. Sayangan dan “kemasan”.
Prof. Poerbatjaraka berpenda­pat, bahwa Galuh sebagai nama tempat, yang letaknya di Tanah Ja­wa tulen ada di arah barat, maka artinya tanah -, daerah -, atau Ne­gara Galuh itu ialah tanah-, daerah -, atau Negara Perak.
Dalam karangan no. 4, berjudul Bagelen. Perihal kata itu, beliau menunjuk kepada rangkaian ben­tuk dari kata: Pegalon dari Pega­lon, dari Pegaluan, dari Pegaluhan, dari Galuh. Demikian juga na­ma Bagelen itu dari Pagelen, dari Pegalian, dari Pegalihan, dari Ga­lih. Adapun kata Galih itu bentuk krama dari Galuh. Prof. Poerbatja­raka memperingatkan, katanya, jangan dicampur bentuk krama de­ngan kata krama. Yang dimaksud dengan kata krama oleh beliau, ia­lah: putra, krama, anak ngoko; griya krama, omah ngoko. Sebagai temannya beliau menunjukkan be­berapa rangkaian contoh: pang­guh; panggih; lungguh; linggih; sungguh; singgih; suruh; sirih. Ma­ka bendasarkan beberapa contoh, Prof. Poerbatjaraka berkeyakinan, bahwa Pegalihan itu bentuk krama dari Pegaluhan, seperti juga Galih dari Galuh; dan Galih itu di dalam cerita “rakyat” Sunda memang na­ma negara zaman kuno, cuma saja ditambah Pakuan, menjadi Galuh Pakuan.
Dalam pada itu kesimpulan yang ditarik oleh Prof. Poerbatjaraka, bila keterangan tentang Galuh dan Bagelen digabung, maka sejarah daerah aliran Sungai Bagawanta – Serayu – Citanduy, zaman dulu ada di bawah kekuasaan Kerajaan Ga­luh yang pusatnya ada di daerah Ciamis sekarang.
1. Bahwa untuk menelusuri per­kembangan sejarah Galuh sebagai sebuah pusat kekuasaan raja-raja pada zaman dahulu, hampir dapat dikatakan tidak mungkin menda­pat dukungan prasasti-prasasti atau peninggalan purba lainnya, demikian juga berita-berita asing, yang ada hanyalah beberapa nas­kah, yang tertua sampai kepada ki­ta hanya beberapa buah berasal da­ri akhir abad ke-16 Masehi dan beberapa buah dari abad ke-17 Masehi. Berbeda dengan sistem penyalinan di daerah kebudayaan Bali, karena mereka masih sangat terikat kepada agama yang sama dengan isi naskah yang disalinnya, mereka berusaha menyalin naskah sepatuh mungkin, biarpun kesa­lahan kecil-kecil yang tidak mung­kin mereka lakukan secara sadar. Sedangkan para penyalin di Jawa Barat menganut agama yang ber­beda dengan isi naskah tentang ke­percayaan yang lama, mereka me­rasa lebih bebas melakukan penyalinan kreatif, disesuaikan de­ngan kepentingan orang atau pem­besar yang membiayainya.
Dalam kesempatan berbicara se­putar Galuh kali ini, saya ingin me­ngetengahkan, beberapa naskah, baik yang telah diterbitkan maup­un yang belum, yang dianggap berisi semacam “sejarah”, dalam pengertian masa naskah itu ditulis, yang isinya sudah barang tentu ter­ikat kepada “kode budaya” ma­syarakatnya.
Pengertian “sejarah” (atau “sa­jarah”) pada masa itu ialah stam­boom, bukan geschiedenis atau his­tory. Tetapi “sejarah” pada waktu pendudukan Jepang dipakai peng­ganti istilah geschiedenis, yang di­larang dipakai di dunia persekolah­an pada masa itu, padahal yang le­bih dekat artinya, ialah “tarikh”.
Dalam pemakaiannya zaman dulu istilah “sejarah”, dipertukar­kan secara bebas dengan kata “silsilah”, yang di Filipina Selatan, di­sebut “tarsilah” (Majul 1977, 1989).
Istilah “sejarah” pada dasarnya merupakan semacam “catatan”, tentang baris keturunan yang tertulis. Salah satu fungsi yang utama, adalah untuk menelusuri leluhur seseorang atau keluarga hingga pa­da seorang tokoh yang terkenal pa­da masa yang lampau, mungkin se­orang tokoh politik atau seorang guru agama. Kenyataan ini memberi kesan, bahwa karya “se­jarah” demikian tidak dimaksud­kan untuk tetap sebagai dokumen sejarah saja. Tetapi sebaliknya catatan garis keturunan itu berfungsi untuk mendukung pengakuan indi­vidu-individu dan sesuatu keluar­ga untuk memperoleh kekuasan politik atau menikmati hak-hak istimewa tertentu yang bersifat tra­disional, atau paling tidak menik­mati martabat yang lebih tinggi di antara sesama anggota ma­syarakatnya.
Dengan demikian untuk melaya­ni tujuan-tujuan itu, maka “seja­rah” harus dipelihara agar tidak ketinggalan zaman. Bila ditulis pa­da bahan-bahan yang dapat rusak, seperti kertas, maka isinya harus dilestarikan dengan menyalinnya pada kertas baru. Dengan demiki­an, usia bahan yang digunakan bu­kan merupakan petunjuk usia atau keotentikan catatan-catatan itu (Majul 1989: 98-9).
Kalau kita nanti menelaah bebe­rapa jenis naskah yang saya anggap berisi “sejarah”, yang tampaknya bervariasi, maka janganlah dengan serta-merta beranggapan, sebagai dokumen yang berisi silsilah yang memperlihatkan suatu kesalahan. Sesungguhnya silsilah itu bisa ber­isi pemberian mengenai sebagian tokoh, nama-nama tempat dan da­ta sebenarnya dari peristiwa masa lampau, tetapi juga dimasukkan unsur-unsur mitologis, karena di­maksudkan untuk memenuhi beberapa tujuan di luar fungsi genea­logis yang bersangkutan. Mungkin saja untuk sesuatu tujuan beberapa nama disingkirkan, misalnya guna mencegah agar keturunan-keturunan tertentu tidak dapat menuntut haknya atas tahta.
2. Di bawah ini akap saya kupas beberapa naskah:
Kitab Waruga Jagat (untuk selanjutnya disingkat (KWJ) hanyalah sebagian kecil saja dari se­buah naskah, yang kini tersimpan di Museum Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) di Sumedang. Bagi­an yang lainnya dari naskah terse­but merupakan jenis parimbon, yang isinya terdiri atas bermacam­-macam hal, sebagai catatan yang berhubungan dengan ilmu nujum, dalam sastra Melayu disebut pestaka (vademecum).
Bahan naskah bukan dari kertas, melainkan dari bahan yang kita ke­nal dengan sebutan daluwang (Jawa : dluwang), yang terbuat dari serta kulit pohon “saeh”.
Naskah itu berukuran kuarto. Bagian yang disebut KWJ tertulis dengan huruf pegon (Arab-Jawa), dengan bahasa Jawa-Sunda, tebal­nya hanya terdiri atas 12 lembar.
Kecuali sebuah naskah yang ter­sebut di atas, di museum YPS; ter­simpan juga sejumlah naskah yang lain, di antaranya yang sangat me­narik, ialah Silsilah Keturunan Bu­pati-bupati Sumedang, tertulis de­ngan huruf pegon (Arab-Jawa), dengan bahan kertas Eropa, ber­ukuran folio, ditulis atas nama Ra­den Adipati Suryalaga II, yang per­nah menjadi bupati di Bogor, Karawang dan Sukapura, masa hidup­nya sezaman dengan Pangeran Kornel, pada abad 18-19 Masehi.
Sebuah naskah lagi dengan bah­an daluwang dalam keadaan sangat rusak, pada mulanya sukar ditebak apa isinya, mempergunakan baha­sa dan askara Jawa-Sunda yang su­lit dibaca, dalam bentuk puisi/kidung (Sunda : wawacan). Pada awal tahun 1972 bersama Drs. Didi Suryadi almarhum, saya berusaha untuk dapat membaca dan mengetahui garis-garis besar isinya. Akhirnya ada bagian yang terbaca perihal uraian percintaan antara Mundingsari dengan putri Amber­kasih di Negara Sindangkasih. Setelah bagian itu diketahui, barulah dapat ditentukan, bahwa naskah yang sangat rusak itu adalah salah satu versi dari apa yang disebut de­ngan Babad Siliwangi, mungkin sa­lah satu salinannya adalah Babad Siliwangi yang tersimpan di Mu­seum Nasional (kini ditempatkan di Perpustakaan Nasional Jakar­ta), dengan judul yang sama turun­an naskah itu dikerjakan oleh Ra­den Panji Surya Wijaya, Betawi, 1866 (Poerbatjaraka 1933: 293). Naskah tersebut telah disinggung pula dalam Cariosan Prabu Silih­wangi yang disunting oleh Sunarto & Viviene Sukanda-Tessier (1983). Pada dasarnya KWJ mengurai­kan mata rantai para tokoh yang pernah memegang peranan pen­ting dalam sejarah, yang diwarnai oleh kepercayaan yang diselimuti dalam suasana lslamisasi khusus­nya di Jawa Barat.
Di dalam KWJ, selain dapat kita telaah deretan penguasa-penguasa yang menurut kepercayaan masyarakat tradisional pernah ber­kuasa di tanah air kita, juga dihu­bungkan dengan para penguasa yang pernah memegang peranan dalam penyebaran agama di dunia Islam, yang menurut anggapan pe­nulisnya, kesemuanya bertalian keluarga satu sama lain. Demikianlah makna yang sesungguhnya dan istilah Waruga Jagat.
Jika kita perhatikan arti kata wa­ruga, maka perlu saya ketengah­kan akan makna yang diberikan oleh CM Pleyte dalam karyanya: “De Patapaan Adjar Soekaresi, andere gezegd de kluizenarij op de Goenoeng Padang”, TBG, jilid 55, hal. 380, catatan 2, dia mencoba mengupas pengertian waruga, da­lam rangka membicarakan naskah Carita Waruga Guru. Pleyte menu­lis, makna waruga: belichaming (penjelmaan, pengejawantahan), lichaam (badan, tubuh), dan lijf (badan, tubuh). Dari ketiga arti yang diberikan oleh Pleyte itu, yang lebih mendekati ialah penjelmaan atau pengejawantahan. Pengejawantahan tokoh-tokoh, yang memegang peranan penting di dunia, ditinjau dari wawasan dan sudut pandangan penulis.
Kata waruga dalam BahasaJawa Kuno sebagaimana dicatat oleh Prof. Zoetmulder (1982: 2211), a Mind of building (“bale”? hall, pendopo?), sedangkan pada tem­pat sebelumnya dicatat pula kata: waruga I a part. official or functionary. Van der Tuuk (1901) menca­tat tentang arti waruga dalam be­berapa bahasa yang bersaudara, dalam Bahasa Bali, waruga : bale, Sasak, barugaq; bale; Bima, paru­ga: rumah-rumahan di atas kubur­an; Sangir, bahugha, Rejang, Bugis, Makasar, baruga; Lampung, parugan, berugu (baca: baruga), bangunan berbentuk kubah atau anjung di muka atau di samping rumah tempat wanita bertenun; Bengkulu, brogo- ruangan tempat duduk-duduk.
3. Pada halaman 12, ditulis kolofon, berbunyi: tamat kitab waruga jagat tutug ing tulis ing malem Sala­sa wulan Rayagung ping 8 tahun alip 1117 hijrah. kang gaduh mas ngabehi prana. (Tamat Kitab Wa­ruga Jagat, selesai ditulis pada Se­nin malam, bulan Zulhijjah, tanggal 8, Tahun Alip, 1117 Hijrah (23 Maret 1706 Masehi), kepunyaan Mas Ngabehi Prana.
Kitab Waruga Jagat ini selanjut­nya dilengkapi dengan paririmbon, terdiri atas :
(a) Salinan Kitab Barzanji dan Doa Maulud Nabi; (b) Uraian ten­tang kebiasaan bersawah; (c) Urai­an tentang uga zaman.
Kitab Waruga Jagat versi lain ki­ni tersimpan di Perpustakaan Uni­versitas Leiden, (Juyboll 1912: 70­71, CXXVI. (Cod. 239 (Bijb. Gen.), dalam sebuah berkas, yang terdiri atas empat bagian, tebal 44 halaman, terdiri atas :
(a) Waruga Jagat (hlm. 1-23). daftar rangkaian garis keturunan dari Adam dan Nuh (Enoh) sampai kepada Pangeran Saba Kingkin (Hasanuddin), bahasanya lebih bersifat Jawa daripada Sunda (meer Javaansch dan Soenda­neesch); (b) Waruga jagat atau Ba­bad Pajajaran (hlm. 23-33), mengenai daftar silsilah yang sama, tetapi ditulis dalam bahasa Sunda dan sebagian membicarakan tentang agama Islam; (c) Dongeng Ki Bas­ra, isinya sebuah cerita rakyat da­lam bahasa Sunda, dan (d) Isinya tujuh buah teka-teki dalam bahasa Sunda dengan penyelesaiannya. Juyboll tidak menyebut ukuran naskah, bahan dan huruf yang di­gunakan, demikian pula tahun pe­nulisannya tidak disebutkan.
4. H. Said Raksakusumah almar­hum, menggarap sebuah naskah, yang berjudul: Kitab Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh, sebuah naskah yang dimiliki oleh masyarakat Cisondari, Bandung Se­latan. Hasil garapannya, terjemah­an dan pembahasan secara singkat dalam bahasa Indonesia (1973). Naskah itu ditulis dalam huruf pe­gon dengan bahasa Sunda-Jawa, tetapi tidak menyebutkan bahan­nya apakah kertas atau daluwang.
Dalam kolofon pada halaman terakhir kebetulan dicatat oleh­nya, sebagai berikut: “Kitab Paca­kaki Masalah Karuhun Kabeh…. dipedalkeunana di Pamarican tang­gal 15 bulan…. Rabu akhir tahun Dal Hjrah 1271. Karena nama bu­lan tidak terbaca, – mungkin nas­kah rusak – Tahun 1271 Hijrah = 1854/5 Masehi.
H. Said Raksakusumah mencatat isi kitab itu, meliputi: (a) Tulisan Sejarah; (b) Sifat 20; (c) Kumpulan Du’a-du’a di antaranya Du’a Nur­buat. Selanjutnya disebutkan, penulis menguraikan sejarah di Pulau Jawa sesuai dengan pengertian ka­ta sejarah pada zamannya, yaitu memberikan urutan nama (silsilah) orang-orang yang memegang pim­pinan kemasyarakatan, baik politis maupun spiritual. (Said Raksaku­sumah 1973: 1).
Kenyataan yang kita hadapi me­nunjukkan bahwa penulisan KWJ, pada tahun 1117 Hijrah (1706 Ma­sehi), tidak menyebut tempat ditu­lisnya, mungkin di Sumedang, se­dangkan Kitab Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh ditulis tahun 1272 Hijrah (1854/5 Masehi) di Pamari­can, Ciamis Selatan. Mengingat waktu penulisannya berjangka ± 150 tahun, jarak tempat antara Su­medang dan Pamarican demikian jauhnya, kita bisa menduga, bahwa penulis di Pamarican tidaklah menggunakan KWJ Sumedang se­bagai contoh.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar