Selasa, 01 Desember 2009

Sejarah Aceh Utara

 Sejarah Aceh Utara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.  Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda.
Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934,  Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara).
Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu :
1. Onder Afdeeling Bireuen
2. Onder Afdeeling Lhokseumawe
3. Onder Afdeeling Lhoksukon

Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
 Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia Serikat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku Undang Undang Sementara 1950 seluruh negara bagian bergabung dan statusnya berubah menjadi propinsi. Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, digabungkan dengan Propinsi Sumatera Utara. Dengan Undang Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, terbentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara.
Keberadaan Aceh di bawah Propinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang menuntut agar Aceh tetap berdiri sendiri sebagai propinsi dan tidak berada di bawah Sumatera Utara.  Tetapi ide ini kurang didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh.

Keadaan ini menimbulkan kemarahan tokoh Aceh dan memicu terjadinya pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah datang Wakil Perdana Menteri Mr Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh. Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959.
Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu :
1. Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan
2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan
3. Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan

Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi Kabupaten Bireun.
Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen.
Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.
Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang menegaskan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II maka pernerintah melaksanakan proyek percontohan otonomi daerah. Aceh Utara ditunjuk sebagai daerah tingkat II percontohan otonomi daerah.
Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999.Seiring dengan pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen.
 Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan berpenduduk sebanyak 477.745 jiwa membawahi 27 kecamatan. 

Vandalisma

Vandalism by ditopunyaruang.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
Rupanya kita belum mampu untuk menjadi seperti itu. Sebuah penunjang Cagar Budaya yang penuh coretan menjadi bukti kurangnya kesadaran menghargai sejarah. Candi Gedong Songo, Ungaran, Jawa Tengah, yang merupakan situs kerajaan Mataram Kuno terancam oleh kurangnya penghargaan kita sendiri.

Kisah berganti mengenai asal mula terjadinya negara Carbon.

Tersebutlah ada sebuah dusun di tepi telaga yang disebut Carbon, daerah sekitarnya masih tertutup semak belukar dan hutan. Ke arah selatan dari Carbon terdapat Gunung Careme, di lerengnya banyak kuda liar. Sementara di sungai banyak ikan dan rebon (udang kecil). Pada tahun 1362 C/1445 M bermukimlah di Kebon Pasisir Carbon 4 orang dari Carbon Girang, yaitu Ki Danusela/Ki Gedeng Alang-alang dengan istrinya Nay Arumsari dan Ki Sarnawi dengan istrinya. Lima tahun kemudian datang Ki Somadullah/Walangsungsang/ Pangeran Cakrabuwana dengan istrinya Nay Indang Geulis, anak Ki Danuwarsih, dia kakak Danusela. Turut juga bersama mereka Nay Larasantang, adik sang pangeran.
Lama kelamaan banyak penduduk dari dusun Muhara Jati, Pasambangan, dan lainnya datang ke Carbon. Maka pada tahun 1367 C/1448 M Pangeran Cakrabuwana dibantu oleh penduduk lainnya mulai menebang hutan Kebon Pasisir untuk membuat pedusunan Carbon. Sementara itu keluarga Ki Gedeng Alang-alang dan Ki Somadullah jika malam hari mencari rebon dan ikan di sungai, untuk kemudian dibuat terasi, petis, dan garam.
Setelah penduduk semakin banyak bermukim di daerah itu, diresmikanlah dusun Carbon. Ki Pangalang-alang menjadi kuwu (kepala dusun), Somadullah menjadi raksabhumi dengan nama Cakrabhumi. Carbon menjadi pemukiman yang ramai, banyak orang yang datang berniaga atau bertani, mencari rebon atau ikan di laut, dan banyak perahu berlabuh membawa barang dagangan. Penduduk terdiri dari bermacam bangsa, bermacam anutan, bahasa dan tulisannya. Tahun 1369 C/ 1450 M penduduk yang bermukim di Carbon berjumlah 356 orang, mereka terdiri atas bermacam bangsa, yaitu Sunda, Jawa, Swarnabhumi, Hujungmendini, India, Parsi, Syam, Arab, dan Cina. Ki Somadullah lalu mengajarkan agama Islam pada penduduk, dan didirikanlah surau disebut Jalagrahan yang terletak di tepi laut.
Tersebutlah bahwa Ki Cakrabhumi dengan adiknya berkunjung ke Amparan Jati, tempat gurunya yaitu Seh Datuk Kahfi/ Seh Maulana Idlofi. Sang guru memberi petunjuk pada muridnya agar mereka berdua pergi ke Baitullah di Mekah, tapi istri Cakrabhumijangan diajak, sebab ia sedang hamil muda.
Mereka akhirnya pergi berlayar menuju Kerajaan Mesir, dan singgah di Jidah yang terletak di negeri Arab. Raja negeri itu bernama Syarif Abdullah /Sultan Makmun jatuh hati pada putri Pajajaran Nay Larasantang adik Cakrabhumi. Akhirnya ia dikawin oleh Sultan Makmun dan diberi julukan Sarifah Mudaim, kakaknya dijuluki Haji Abdullah Imam al-Jawi. Cakrabhumi lalu kembali ke Jawa, sementara adiknya tetap tinggal bersama suaminya. Sarifah Mudaim kemudian mempunyai anak bernama Syarif Hidayat.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, Cakrabhumi menjadi kuwu di Cirebon dengan gelar Pangeran Cakrabhuwana. Ia membuat istana Pakungwati, dan bala tentaranya lengkap persenjataanya. Mendengar hal itu raja Sunda lalu mengirim Tumenggung Jagabaya, ia membawa panji keprabhuan yang melambangkan kekuasaan daerah. Pangeran Cakrabhuwana dijadikan Tumenggung Carbon dengan gelar Sri Mangana.
00

PASUNDAN BUBAT 1279

Demikianlah, ini pelengkap naskah Nagara Kretabhumi, riwayat tewasnya orang‑orang Sunda di Bubat.
Suatu peristiwa yang menimbulkan kesedihan dan penderitaan dalam hati orang banyak di tanah Jawa Barat, juga membuat kemarahan yang amat sangat angkatan bersenjata, ratu bawahan dari segenap wilayah, pembesar kerajaan serta keluarga Sang Prabhu Maharaja yang wafat di Bubat.
Setelah Sang Mangkubhumi Suradipati ialah Sang Bunisora, adik Prabhu Maharaja, mewakili kakaknya, maka segenap anggota angkatan bersenjata Sunda segera diberi pengumuman oleh Sang Mangkubhumi Suradipati, sekalian anggota angkatan bersenjata mengenakan baju besi serta semuanya menggenggam berbagai senjata.
Tampaklah mereka, ada yang menunggang gajah, kuda, naik kereta, dan kesatuan pejalan kaki. Angkatan bersenjata yang banyak jumlahnya dari tanah Jawa Barat di bawah kekuasaan Prabhu Maharaja, besar pula kekuatannya, menjaga segenap tempat di tanah Jawa Barat. Angkatan laut dengan beberapa puluh buah perahu besar menjaga laut seputar negeri. Sepanjang pinggir sungai di daerah Brebes, yang disebut Cipamali, dijaga oleh angkatan bersenjata Sunda, juga sepanjang pantai laut, hutan dan gunung, desa-desa, tempat di wilayah pelabuhan perahu dan lain-lainnya lagi.
Sekalian penduduk ikut menjaga negeri mereka dengan membawa berbagai senjata perang, berpencar, bersembunyi di atas pepohonan, di rumah yang tersembunyi. Mereka itu berjaga­ jaga, jangan-jangan angkatan bersenjata Wilwatikta datang menyerang negeri mereka di Jawa Barat, yaitu negara Sunda dan Galuh. Karena mereka telah menjadi satu di bawah perintah Prabhu Maharaja yang wafat di Bubat.
Adapun menurut berita lain, puteri Sang Prabhu Maharaja Sunda ialah Citraresmi namanya, yaitu Dyah Pitaloka, sebagai puteri mahkota kerajaan Sunda. Disebut oleh Maharaja Wilwatikta, bahwa Dyah Pitaloka adalah berlian dari barat.
Peristiwa tewasnya orang-orang Sunda di Bubat, pada hari Selasa, waktu itu matahari tidak ada di atas istana. (Selasa Wage/Pahing, 13 suklapaksa, Badra (11), 1279 C = 01-08-1363 M = 19 Sawal 0764 H). Pada keesokan harinya, hari Rabu Kliwon semua jenazah, Prabhu Maharaja Sunda, sang puteri, dan sekalian pengiringnya telah dimasukkan ke dalam peti jenazah masing-masing.
Dalam pada itu, Bhre Wilwatikta telah mengutus duta ke Sunda dengan membawa surat. Diriwayatkan bahwa dalam waktu sebulan setelah peristiwa tewasnya orang-orang Sunda di Bubat, maka Bhre Wilwatikta mengajukan permintaan maaf atas semua tingkah laku dan kejahatan, yang telah diperbuat oleh panglima-panglima serta angkatan bersenjatanya, yang menyebabkan wafatnya Prabhu Maharaja Sunda.
Perbuatan jahat itu terlepas dari kehidupan sejahtera rakyat kerajaan Wilwatikta. Oleh sebab itu, Bhre Prabhu Wilwatikta dengan hati yang bersih berjanji kepada raja Sunda yang mewakilinya, ialah Mangkubhumi Suradhipati, pembesar, pegawai, angkatan bersenjata, dan rakyat seluruh Jawa Barat; katanya , bahwa Wilwatikta tidak ingin menyerang negeri Sunda di bumi Jawa Barat, serta tidak ingin menaklukkannya, (tapi) ingin saling membantu, saling bersahabat, masing-masing menjadi negara merdeka.
Agar supaya tidak bermusuhan, Bhre Prabhu Wilwatikta berjanji, tidak ingin memberikan kesedihan dan keaiban untuk ke dua kalinya kepada rakyat negeri Sunda.

Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya

Tokoh-tokoh Galuh Menurut Wangsakerta
Pada “Carita Parahiyangan” ditegaskan Kerajaan Galuh didiri­kan oleh Sang Wretikandayun, ba­ginda berkuasa 90 tahun, tokoh-­tokoh selanjutnya dapat kita ikuti dari uraian Pangeran Wangsakerta dalam CP-V (Atja 1990 pe­nyunting), teks hlm. 72-9.
(1) Sang Wretikandayun ber­kuasa di Galuh, pada tahun 534-­592 Saka (612/3-670/1 Masehi), lamanya 58 tahun, sebagai ratu wi­layah di bawah Tarumanagara. Pa­da tahun 592-624 Saka (670/1-702/3 Masehi), selama 32 tahun sebagai raja Galuh merdeka.
(2) Sang Mandiminyak berkuasa pada tahun 624-631 Saka (702/3­-709/10 Masehi), lamanya 7 tahun sebagai ratu Galuh.
(3) Sang Senna, berkuasa pada tahun 631-638 Saka (709/10-716/7 Masehi), lamanya 7 tahun sebagai ratu Galuh.
(4) Sang Purbasura, pada tahun 638-645 Saka (716/7-723/4 Mase­hi), lamanya 7 tahun sebagai ratu Galuh.
(5) Sang Sanjaya, pada tahun 645-654 Saka (723/4-732/3 Mase­hi), lamanya 9 tahun sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
(7) Sang Tamperan, ada tahun 654-661 Saka (732/3-739/40 Mase­hi) sebagai maharaja Galuh dan Sunda, lamanya 7 tahun. Sebelum­nya baginda menjadi ratu wilayah Sunda, pada tahun 645-654 Saka (723/4-732/3 Masehi), lamanya 9 tahun.
(8) Sang Manarah pada tahun 661-705 Saka, lamanya 44 tahun se­bagai raja Galuh.
(9) Sang Manisri pada tahun 705­-721 Saka (783/4-799/800 Masehi), lamanya 16 tahun sebagai raja Galuh.
(10) Sang Tariwulan, pada tahun 721-728 Saka (799/800-806/7 lama­nya 7 tahun, sebagai raja Galuh.
(11) Sang Welengsa pada tahun 728-735 Saka (806/7-813/4 Masehi, lamanya 7 tahun, sebagai raja Galuh.
(12) Prabhu Linggabhumi, pada tahun 735-774 Saka 813/4-852/3 Masehi), lamanya 39 tahun sebagai raja Galuh.
(13) Danghyang Guru Wisud­dha, pada tahun 774-842 Saka (852/ 3-920/1 Masehi), lamanya 68 tahun sebagai ratu wilayah Galuh, kare­na Galuh dan Sunda berada di ba­wah kekuasaan Rakeyan Wuwus.
(14) Prabhu Jayadrata, pada ta­hun 843-871 Saka (921/2-949/50 Masehi), lamanya 29 tahun sebagai ratu Galuh yang berdiri sendiri.
(15) Prabhu Harimurtti pada ta­hun 871-888 Saka (949/50-966/7 Masehi).
(16) Prabhu Yuddhanagara, pa­da tahun 888-910 Saka (966/7-988/9 Masehi), lamanya 22 tahun sebagai ratu Galuh.
(17) Prabhu Linggasakti, pada tahun 910-934 Saka (988/9-1012/3 Masehi), lamanya 24 tahun sebagai ratu Galuh.
(18) Resiguru Dharmmasatya­dewa, pada tahun 934-949 Saka (1012/3-1027/8 Masehi), sebagai raja wilayah Galuh.
(19) Prabhu Arya Tunggalning­rat, pada tahun 987-1013 Saka (1065/6-1091/2 Masehi), lamanya 26 tahun, sebagai raja wilayah Galuh.
(20) Resiguru Bhatara Hyang Purnawijaya, pada tahun 1013­-1033 Saka, lamanya 20 tahun seba­gai ratu wilayah Galuh.
(21) Bhatari Hyang Janawati, pada tahun 1033-1074 Saka (1111/2-1152/3 Masehi), lamanya 41 ta­hun sebagai raja Galuh dengan ibu­kota Galunggung.
(22) Prabhu Dharmmakusuma, pada tahun 1074-1079 Saka (1152/3-1157/8 Masehi), lamanya 5 tahun sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
(23) Prabu Guru Dharmmasiksa, pada tahun 1097-1219 Saka (1157/8-1297/8 Masehi, lamanya 122 ta­hun, sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
(24) Rakeyan Saunggalah, pada tahun 1109-1219 Saka (1167/8-­1297/8 Masehi), sebagai ratu wi­layah Galuh, kemudian pada tahun 1219-1225 Saka (1297/8-1303/4 Ma­sehi), menjadi maharaja Galuh dan Sunda.
(25) Maharaja Citragandha, pa­da tahun 1225-1233 Saka (1303/4­-1311/2 Masehi, lamanya 8 tahun sebagai penguasa Galuh dan Sunda.
(26) Maharaja Linggadewata, pada tahun 1233-1255 Saka 1311/2-1333/4 Masehi), lamanya 22 ta­hun sebagai penguasa Galuh dan Sunda.
(27) Maharaja Ajiguna, pada ta­hun 1255-1262 Saka (1333/4-1340/1 Masehi), lamanya 7 tahun sebagai penguasa Galuh dan Sunda.
(28) Maharaja Ragamulya, pada tahun 1262-1272 Saka (1340/1­-1350/1 Masehi, lamanya 10 tahun sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda.
(29) Prabhu Maharaja Lingga­bhuwana pada tahun 1272-1279 Sa­ka (1350/1-1357/8 Masehi), lama­nya 7 tahun, sebagai penguasa ke­rajaan Galuh dan Sunda.
(30) Mangkubhumi Suradhipati, sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda, pada tahun 1279-1293 Saka (1357/8-1371/2 Masehi), lamanya 14 tahun.
(31) Niskalawastu Kancana, pa­da tahun 1293-1397 Saka (1371/2­-1475/6 Masehi) lamanya 104 tahun, sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda.
(32) Dewaniskala atau Ningrat­kancana, pada tahun 1397-1404 Sa­ka (1475/6-1482/3 Masehi), lama­nya 7 tahun sebagai raja Galuh.
(33) Prabhu Ningratwangi, pada tahun 1404-1423 Saka 1482/3-­1501/2 Masehi), lamanya 19 tahun, sebagai ratu wilayah Galuh.
(34) Prabhu Jayaningrat, pada tahun 1423-1450 Saka (1501/2-­1528/9 Masehi), lamanya 2 tahun, sebagai ratu wilayah Galuh ter­akhir, karena kerajaan Galuh ditaklukkan oleh kerajaan Cirebon. Semenjak waktu itu kerajaan Ga­luh dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya berada di bawah kekuasa­an Cirebon, yang diperintah oleh Susuhunan Jati.
10. Wilayah Galuh semenjak ta­hun 1528 selalu merupakan bagian dari Cirebon, bagaimanapun perubahan ketatanegaraan terjadi di negara kita, baru pada tahun 1916 terjadi perubahan, dan untuk selanjutnya dimasukkan menjadi bagian dari kabupaten-kabupaten Priangan (Preanger Re­genstschappen).
Sesungguhnya yang disebut dae­rah Galuh sebelum tahun 1916, adalah wilayah paling selatan dari Keresidenan Cirebon, yang dibata­si dengan Sungai Cijolang dengan Keresidenan Banyumas, dan di se­belah selatan dan barat dibatasi oleh Citanduy dengan Keresidenan Priangan, luasnya 1124 km2, dan terdiri atas 4 distrik: Ciamis, Ran­ca, Panjalu dan Kawali, Ibukota­nya: Ciamis.
Pada awal abad ke-17 Masehi termasuk wilayah Kerajaan Mata­ram. Menurut anggapan ma­syarakat sisa peninggalan ibukota (dayeuh Galuh terletak di sebuah hutan purba dekat Batununggal (± 20 km di sebelah Kota Ciamis seka­rang). Pada tahun 1641 Masehi Ga­luh dibagi menjadi 4 kabupaten ia­lah: Imbanagara, Utama, Bojong­lopang, dan Kawasen. Ibukota (dayeuh) sama dengan nama kabu­patennya. Dua kabupaten terletak di Galuh, dan dua lagi di wilayah Priangan.
Penduduk pribumi Galuh se­muanya berbahasa Sunda, demiki­an juga cara berpakaian, adat dan pengaturan desa tidak berbeda de­ngan wilayah Priangan dan daerah-­daerah lain yang berbahasa Sunda.
Kabupaten Ciamis sekarang di­perluas dengan beberapa distrik yang terletak di sebelah selatan Su­ngai Citanduy, tadinya merupakan bagian dari Kabupaten Tasikma­laya. Pada waktu Rawa Lakbok di­keringkan, yang dikerjakan berda­sarkan prakarsa Bupati Tasikmalaya terjadi sekitar tahun-tahun 30­-an.
Setelah negara Republik Indo­nesia diproklamasikan, Ciamis me­rupakan sebuah kabupaten di wi­layah Priangan berdasarkan Un­dang-undang RI 1945/1, sebagai warisan zaman kolonial di Jawa dan Madura dibagi menjadi 17 ke­residenan, kota otonom di Jawa 18, dan kabupaten otonom 67 buah.
* * *

Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya



Galuh Berarti Putri Bangsawan Atau Sejenis Batu Permata


Pengantar

Tanggal 16-19 Mei, di Tasikma­laya diadakan Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh. Se­minar yang diselenggarakan oleh Unsil bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh itu membahas sejarah Galuh ditinjau dari berbagai kaji­an, antara lain epigrafi, filologi, ar­keologi, numismatik dan seha­gainya.
Untuk membuka pemahaman pembaca terhadap “Galuh”, “PR” menurunkan tulisan ahli sejarah, Drs. Atja. Tulisan ini berupa maka­lah yang juga disampaikan pada se­minar di Tasikmalaya itu. Kami muat secara bersambung mulai hari ini. (redaksi)
Toponim suatu tempat sering sangat penting bagi suatu kajian serajah, karena di dalamnya terkandung nilai sejarah baik yang berhubungan dengan lingkungan alam maupun dengan kehidupan manusia yang menempatinya. Di samping itu penamaan suatu tempat merupakan ciptaan manusia yang ­sengaja dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan, mitologi, legenda, sejarah dan lain-lain. Itulah sebabnya di sini akan dicoba ditelusuri nama tempat dalam pasang surutnya, yang menjadi sorotan kini ialah “Galuh”, dan tempat lainnya yang diperkirakan ada kaitannya.
Seorang pakar yang telah memperhatikan dengan saksama perihal nama “Galuh” ialah mendiang Prof. Dr. R. Ng Poerbatjaraka (ba­ca: Purbocoroko). Beliau menulis sebuah makalah secara khusus tentang Galuh dalam majalah “Baha­sa dan Budaya”. Tahun III, No.2, December 1954, halaman 6-10, berjudul: “3 Galuh”.
Untuk mencari arti leksikal, be­liau membuka kamus Jawa (Geric­ke & Roorda 1901, II), galuh, Kw. zva. putri orang bangsawan dan de­wi (Skt. galu, sejenis batu perma­ta). KN nama kabupaten di dalam Keresidenan Cerbon, zaman dulu kota kerajaan. Di dalam kamus Purwodarminto; galuh kl. (kesu­sastraan lama) ratna (intan); putri (anak raja). Di dalam Kw. Bal. Ned. Wdb Van den Tuuk, kata ga­luh diterangkan dengan panjang le­bar, tetapi artinya: I. antara lain juga cuma mengelilingi arti putri dan permata (emas), II. Nama kerajaan di tanah Jawa (zaman Kuna).
Galuh sebagai nama sebuah ke­rajaan di Tanah Jawa zaman kuno, Prof. Poerbatjaraka menyebutkan :
I. Terdapat hampir di tiap-tiap Serat Babad yang menceritakan “zaman itu”. Beliau memberi contoh di dalam Serat Babad No. 1 yang disimpan di Lembaga Bahasa dan Budaya (kini: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), hlm. 257, tentang perangnya Raja Banjaransari yang bermusuhan de­ngan raja (jin) perempuan di Galuh.
II. Di dalam Babad Tanah Jawi, sebagai negara Arya Bangah (ed. Meinsma-Olthof 1941).
III. Di dalam Serat Aji Saka, se­bagai Raja Sindula, ayah Sang De­wata-cengkar, Negara Galuh ini di­ceritakan ketika diserang perang oleh Dewata-cengkar, sekonyong-­konyong ilang menjadi utan. (Serat Aji Saka oleh CF Winter 1857).
IV. Di dalam Carita Parahiyang­an, sebagai negara Raja Sanjaya. Sungguhpun cerita no. I, II, III itu cuma cerita sebagai dongeng pula, tetapi dongeng yang sangat mende­kati cerita riwayat (Riwayat Indo­nesia I 1952: 61).
V. Galuh ditambah Ujung, jadi Ujung-Galuh, nama tempat, yang dikatakan bula mengasingkan sang Jayakatwang, raja di Kediri oleh Raden Wijaya, Raja Majapahit yang pertama (Pararaton 1920).
VI. Ada nama Galuh pula yang ditambah awalan pra-, jadi Pragaluh, ialah nama desa atau daerah, yang terdapat pada batu tulis, yang terdapat di Desa Gandasuli (Ke­du), yang masih terletak di tempat­nya (De Casparis 1950: 62). Kabar inilah yang mempunyai derajat bahan epigrafi, yang di dalam ilmu pengetahuan sejarah sangat pen­tingnya.
VII. Galuh sebagai betul-betul nama ilmu bumi di Tanah Jawa, terdapat di dalam karangan CM Pleyte, seorang yang boleh dianggap ahli dalam ilmu Kesundaan, yang mengatakan bahwa Galuh se­karang ialah (ongeveer) Ciamis. (Pleyte 1913: (282).
Prof. Poerbatjaraka selanjutnya menunjuk kepada sebuah nama kampung: Begalon di sekitar Keraton Surakarta, menurut tradisi kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang menggosok intan berlian. Katanya, asal-mulanya na­ma kampung itu tentu: Pegalon, dari Pegaluan dari pegaluhan dari galuh pula. Barangkali keterangan “tempat pegawai tukang menggo­sok intan-berlian” itu, setelah galuh diberi arti “permata”. Karena itu Prof. Poerbatjaraka mengaju­kan pertanyaan; mungkinkah bah­wa kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang membuat ba­rang perak, barang perak upacara yang besar-besar seperti lancang, sumbul, bokor dan lain-lainnya, karena kampung itu sangat berde­katan dengan Kawatan. Sayangan dan “kemasan”.
Prof. Poerbatjaraka berpenda­pat, bahwa Galuh sebagai nama tempat, yang letaknya di Tanah Ja­wa tulen ada di arah barat, maka artinya tanah -, daerah -, atau Ne­gara Galuh itu ialah tanah-, daerah -, atau Negara Perak.
Dalam karangan no. 4, berjudul Bagelen. Perihal kata itu, beliau menunjuk kepada rangkaian ben­tuk dari kata: Pegalon dari Pega­lon, dari Pegaluan, dari Pegaluhan, dari Galuh. Demikian juga na­ma Bagelen itu dari Pagelen, dari Pegalian, dari Pegalihan, dari Ga­lih. Adapun kata Galih itu bentuk krama dari Galuh. Prof. Poerbatja­raka memperingatkan, katanya, jangan dicampur bentuk krama de­ngan kata krama. Yang dimaksud dengan kata krama oleh beliau, ia­lah: putra, krama, anak ngoko; griya krama, omah ngoko. Sebagai temannya beliau menunjukkan be­berapa rangkaian contoh: pang­guh; panggih; lungguh; linggih; sungguh; singgih; suruh; sirih. Ma­ka bendasarkan beberapa contoh, Prof. Poerbatjaraka berkeyakinan, bahwa Pegalihan itu bentuk krama dari Pegaluhan, seperti juga Galih dari Galuh; dan Galih itu di dalam cerita “rakyat” Sunda memang na­ma negara zaman kuno, cuma saja ditambah Pakuan, menjadi Galuh Pakuan.
Dalam pada itu kesimpulan yang ditarik oleh Prof. Poerbatjaraka, bila keterangan tentang Galuh dan Bagelen digabung, maka sejarah daerah aliran Sungai Bagawanta – Serayu – Citanduy, zaman dulu ada di bawah kekuasaan Kerajaan Ga­luh yang pusatnya ada di daerah Ciamis sekarang.
1. Bahwa untuk menelusuri per­kembangan sejarah Galuh sebagai sebuah pusat kekuasaan raja-raja pada zaman dahulu, hampir dapat dikatakan tidak mungkin menda­pat dukungan prasasti-prasasti atau peninggalan purba lainnya, demikian juga berita-berita asing, yang ada hanyalah beberapa nas­kah, yang tertua sampai kepada ki­ta hanya beberapa buah berasal da­ri akhir abad ke-16 Masehi dan beberapa buah dari abad ke-17 Masehi. Berbeda dengan sistem penyalinan di daerah kebudayaan Bali, karena mereka masih sangat terikat kepada agama yang sama dengan isi naskah yang disalinnya, mereka berusaha menyalin naskah sepatuh mungkin, biarpun kesa­lahan kecil-kecil yang tidak mung­kin mereka lakukan secara sadar. Sedangkan para penyalin di Jawa Barat menganut agama yang ber­beda dengan isi naskah tentang ke­percayaan yang lama, mereka me­rasa lebih bebas melakukan penyalinan kreatif, disesuaikan de­ngan kepentingan orang atau pem­besar yang membiayainya.
Dalam kesempatan berbicara se­putar Galuh kali ini, saya ingin me­ngetengahkan, beberapa naskah, baik yang telah diterbitkan maup­un yang belum, yang dianggap berisi semacam “sejarah”, dalam pengertian masa naskah itu ditulis, yang isinya sudah barang tentu ter­ikat kepada “kode budaya” ma­syarakatnya.
Pengertian “sejarah” (atau “sa­jarah”) pada masa itu ialah stam­boom, bukan geschiedenis atau his­tory. Tetapi “sejarah” pada waktu pendudukan Jepang dipakai peng­ganti istilah geschiedenis, yang di­larang dipakai di dunia persekolah­an pada masa itu, padahal yang le­bih dekat artinya, ialah “tarikh”.
Dalam pemakaiannya zaman dulu istilah “sejarah”, dipertukar­kan secara bebas dengan kata “silsilah”, yang di Filipina Selatan, di­sebut “tarsilah” (Majul 1977, 1989).
Istilah “sejarah” pada dasarnya merupakan semacam “catatan”, tentang baris keturunan yang tertulis. Salah satu fungsi yang utama, adalah untuk menelusuri leluhur seseorang atau keluarga hingga pa­da seorang tokoh yang terkenal pa­da masa yang lampau, mungkin se­orang tokoh politik atau seorang guru agama. Kenyataan ini memberi kesan, bahwa karya “se­jarah” demikian tidak dimaksud­kan untuk tetap sebagai dokumen sejarah saja. Tetapi sebaliknya catatan garis keturunan itu berfungsi untuk mendukung pengakuan indi­vidu-individu dan sesuatu keluar­ga untuk memperoleh kekuasan politik atau menikmati hak-hak istimewa tertentu yang bersifat tra­disional, atau paling tidak menik­mati martabat yang lebih tinggi di antara sesama anggota ma­syarakatnya.
Dengan demikian untuk melaya­ni tujuan-tujuan itu, maka “seja­rah” harus dipelihara agar tidak ketinggalan zaman. Bila ditulis pa­da bahan-bahan yang dapat rusak, seperti kertas, maka isinya harus dilestarikan dengan menyalinnya pada kertas baru. Dengan demiki­an, usia bahan yang digunakan bu­kan merupakan petunjuk usia atau keotentikan catatan-catatan itu (Majul 1989: 98-9).
Kalau kita nanti menelaah bebe­rapa jenis naskah yang saya anggap berisi “sejarah”, yang tampaknya bervariasi, maka janganlah dengan serta-merta beranggapan, sebagai dokumen yang berisi silsilah yang memperlihatkan suatu kesalahan. Sesungguhnya silsilah itu bisa ber­isi pemberian mengenai sebagian tokoh, nama-nama tempat dan da­ta sebenarnya dari peristiwa masa lampau, tetapi juga dimasukkan unsur-unsur mitologis, karena di­maksudkan untuk memenuhi beberapa tujuan di luar fungsi genea­logis yang bersangkutan. Mungkin saja untuk sesuatu tujuan beberapa nama disingkirkan, misalnya guna mencegah agar keturunan-keturunan tertentu tidak dapat menuntut haknya atas tahta.
2. Di bawah ini akap saya kupas beberapa naskah:
Kitab Waruga Jagat (untuk selanjutnya disingkat (KWJ) hanyalah sebagian kecil saja dari se­buah naskah, yang kini tersimpan di Museum Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) di Sumedang. Bagi­an yang lainnya dari naskah terse­but merupakan jenis parimbon, yang isinya terdiri atas bermacam­-macam hal, sebagai catatan yang berhubungan dengan ilmu nujum, dalam sastra Melayu disebut pestaka (vademecum).
Bahan naskah bukan dari kertas, melainkan dari bahan yang kita ke­nal dengan sebutan daluwang (Jawa : dluwang), yang terbuat dari serta kulit pohon “saeh”.
Naskah itu berukuran kuarto. Bagian yang disebut KWJ tertulis dengan huruf pegon (Arab-Jawa), dengan bahasa Jawa-Sunda, tebal­nya hanya terdiri atas 12 lembar.
Kecuali sebuah naskah yang ter­sebut di atas, di museum YPS; ter­simpan juga sejumlah naskah yang lain, di antaranya yang sangat me­narik, ialah Silsilah Keturunan Bu­pati-bupati Sumedang, tertulis de­ngan huruf pegon (Arab-Jawa), dengan bahan kertas Eropa, ber­ukuran folio, ditulis atas nama Ra­den Adipati Suryalaga II, yang per­nah menjadi bupati di Bogor, Karawang dan Sukapura, masa hidup­nya sezaman dengan Pangeran Kornel, pada abad 18-19 Masehi.
Sebuah naskah lagi dengan bah­an daluwang dalam keadaan sangat rusak, pada mulanya sukar ditebak apa isinya, mempergunakan baha­sa dan askara Jawa-Sunda yang su­lit dibaca, dalam bentuk puisi/kidung (Sunda : wawacan). Pada awal tahun 1972 bersama Drs. Didi Suryadi almarhum, saya berusaha untuk dapat membaca dan mengetahui garis-garis besar isinya. Akhirnya ada bagian yang terbaca perihal uraian percintaan antara Mundingsari dengan putri Amber­kasih di Negara Sindangkasih. Setelah bagian itu diketahui, barulah dapat ditentukan, bahwa naskah yang sangat rusak itu adalah salah satu versi dari apa yang disebut de­ngan Babad Siliwangi, mungkin sa­lah satu salinannya adalah Babad Siliwangi yang tersimpan di Mu­seum Nasional (kini ditempatkan di Perpustakaan Nasional Jakar­ta), dengan judul yang sama turun­an naskah itu dikerjakan oleh Ra­den Panji Surya Wijaya, Betawi, 1866 (Poerbatjaraka 1933: 293). Naskah tersebut telah disinggung pula dalam Cariosan Prabu Silih­wangi yang disunting oleh Sunarto & Viviene Sukanda-Tessier (1983). Pada dasarnya KWJ mengurai­kan mata rantai para tokoh yang pernah memegang peranan pen­ting dalam sejarah, yang diwarnai oleh kepercayaan yang diselimuti dalam suasana lslamisasi khusus­nya di Jawa Barat.
Di dalam KWJ, selain dapat kita telaah deretan penguasa-penguasa yang menurut kepercayaan masyarakat tradisional pernah ber­kuasa di tanah air kita, juga dihu­bungkan dengan para penguasa yang pernah memegang peranan dalam penyebaran agama di dunia Islam, yang menurut anggapan pe­nulisnya, kesemuanya bertalian keluarga satu sama lain. Demikianlah makna yang sesungguhnya dan istilah Waruga Jagat.
Jika kita perhatikan arti kata wa­ruga, maka perlu saya ketengah­kan akan makna yang diberikan oleh CM Pleyte dalam karyanya: “De Patapaan Adjar Soekaresi, andere gezegd de kluizenarij op de Goenoeng Padang”, TBG, jilid 55, hal. 380, catatan 2, dia mencoba mengupas pengertian waruga, da­lam rangka membicarakan naskah Carita Waruga Guru. Pleyte menu­lis, makna waruga: belichaming (penjelmaan, pengejawantahan), lichaam (badan, tubuh), dan lijf (badan, tubuh). Dari ketiga arti yang diberikan oleh Pleyte itu, yang lebih mendekati ialah penjelmaan atau pengejawantahan. Pengejawantahan tokoh-tokoh, yang memegang peranan penting di dunia, ditinjau dari wawasan dan sudut pandangan penulis.
Kata waruga dalam BahasaJawa Kuno sebagaimana dicatat oleh Prof. Zoetmulder (1982: 2211), a Mind of building (“bale”? hall, pendopo?), sedangkan pada tem­pat sebelumnya dicatat pula kata: waruga I a part. official or functionary. Van der Tuuk (1901) menca­tat tentang arti waruga dalam be­berapa bahasa yang bersaudara, dalam Bahasa Bali, waruga : bale, Sasak, barugaq; bale; Bima, paru­ga: rumah-rumahan di atas kubur­an; Sangir, bahugha, Rejang, Bugis, Makasar, baruga; Lampung, parugan, berugu (baca: baruga), bangunan berbentuk kubah atau anjung di muka atau di samping rumah tempat wanita bertenun; Bengkulu, brogo- ruangan tempat duduk-duduk.
3. Pada halaman 12, ditulis kolofon, berbunyi: tamat kitab waruga jagat tutug ing tulis ing malem Sala­sa wulan Rayagung ping 8 tahun alip 1117 hijrah. kang gaduh mas ngabehi prana. (Tamat Kitab Wa­ruga Jagat, selesai ditulis pada Se­nin malam, bulan Zulhijjah, tanggal 8, Tahun Alip, 1117 Hijrah (23 Maret 1706 Masehi), kepunyaan Mas Ngabehi Prana.
Kitab Waruga Jagat ini selanjut­nya dilengkapi dengan paririmbon, terdiri atas :
(a) Salinan Kitab Barzanji dan Doa Maulud Nabi; (b) Uraian ten­tang kebiasaan bersawah; (c) Urai­an tentang uga zaman.
Kitab Waruga Jagat versi lain ki­ni tersimpan di Perpustakaan Uni­versitas Leiden, (Juyboll 1912: 70­71, CXXVI. (Cod. 239 (Bijb. Gen.), dalam sebuah berkas, yang terdiri atas empat bagian, tebal 44 halaman, terdiri atas :
(a) Waruga Jagat (hlm. 1-23). daftar rangkaian garis keturunan dari Adam dan Nuh (Enoh) sampai kepada Pangeran Saba Kingkin (Hasanuddin), bahasanya lebih bersifat Jawa daripada Sunda (meer Javaansch dan Soenda­neesch); (b) Waruga jagat atau Ba­bad Pajajaran (hlm. 23-33), mengenai daftar silsilah yang sama, tetapi ditulis dalam bahasa Sunda dan sebagian membicarakan tentang agama Islam; (c) Dongeng Ki Bas­ra, isinya sebuah cerita rakyat da­lam bahasa Sunda, dan (d) Isinya tujuh buah teka-teki dalam bahasa Sunda dengan penyelesaiannya. Juyboll tidak menyebut ukuran naskah, bahan dan huruf yang di­gunakan, demikian pula tahun pe­nulisannya tidak disebutkan.
4. H. Said Raksakusumah almar­hum, menggarap sebuah naskah, yang berjudul: Kitab Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh, sebuah naskah yang dimiliki oleh masyarakat Cisondari, Bandung Se­latan. Hasil garapannya, terjemah­an dan pembahasan secara singkat dalam bahasa Indonesia (1973). Naskah itu ditulis dalam huruf pe­gon dengan bahasa Sunda-Jawa, tetapi tidak menyebutkan bahan­nya apakah kertas atau daluwang.
Dalam kolofon pada halaman terakhir kebetulan dicatat oleh­nya, sebagai berikut: “Kitab Paca­kaki Masalah Karuhun Kabeh…. dipedalkeunana di Pamarican tang­gal 15 bulan…. Rabu akhir tahun Dal Hjrah 1271. Karena nama bu­lan tidak terbaca, – mungkin nas­kah rusak – Tahun 1271 Hijrah = 1854/5 Masehi.
H. Said Raksakusumah mencatat isi kitab itu, meliputi: (a) Tulisan Sejarah; (b) Sifat 20; (c) Kumpulan Du’a-du’a di antaranya Du’a Nur­buat. Selanjutnya disebutkan, penulis menguraikan sejarah di Pulau Jawa sesuai dengan pengertian ka­ta sejarah pada zamannya, yaitu memberikan urutan nama (silsilah) orang-orang yang memegang pim­pinan kemasyarakatan, baik politis maupun spiritual. (Said Raksaku­sumah 1973: 1).
Kenyataan yang kita hadapi me­nunjukkan bahwa penulisan KWJ, pada tahun 1117 Hijrah (1706 Ma­sehi), tidak menyebut tempat ditu­lisnya, mungkin di Sumedang, se­dangkan Kitab Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh ditulis tahun 1272 Hijrah (1854/5 Masehi) di Pamari­can, Ciamis Selatan. Mengingat waktu penulisannya berjangka ± 150 tahun, jarak tempat antara Su­medang dan Pamarican demikian jauhnya, kita bisa menduga, bahwa penulis di Pamarican tidaklah menggunakan KWJ Sumedang se­bagai contoh.
* * *

Prasasti Ciarunteun

Perjalanan menuju Prasasti Ciarunteun sangat mengagumkan. Dari pusat kota Bogor, kita perlu beberapa kali berganti angkot. Angkot terakhir sampai di pasar Ciampea. Dari situ tinggal melanjutkan ke desa Ciarunteun Hilir tepatnya dengan naik ojeg untuk mengantar ke lokasi. Karena jalannya memang cukup sempit untuk dilalui mobil.
Memasuki desa ini, sudah terasa pada kami, angin bertiup sangat sejuk dan menggelitik pipi kami. Perlahan gerimis mengiringi kami ke lokasi batu tulis peninggalan kerajaan besar Tarumanegara.
prasasti ciarunteun2
Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh seorang Belanda N.W Hovenman di kali Ciarunteun anak sungai Cisadane pada tahun 1683. Dari ditemukannya hingga tahun 1965, prasasti tersebut tetap pada tempatnya, yaitu di sungai Ciarunteun.
Di lokasi batu tulis kami bertemu dengan penjaga batu bersejarah ini yaitu pak Atma. Beliau sangat menyambut kedatangan kami. Usianya sekitar 60 tahunan. Dengan perawakannya yang kecil, namun tetap terlihat kuat. Sehari-hari bila ia tak di lokasi batu tulis mengawal para pengunjung, ia berada di ladangnya yang tak jauh dari lokasi. Dengan semangat dan cintanya pada situs ini, ia berkisah pada kami tentang peninggalan-peninggalan kerajaan kuno ini.
Proyek Pengangkatan Batu Tulis Ciarunteun
Sekitar tahun 1965-1975 banyak murid-murid SR (sekarang sejajar dengan SD) yang ingin melihat batu bersejarah ini. Untuk melihat batu tulis Ciarunteun, para pengunjung dahulu harus menyebrang sungai. Kadangkala bila musim hujan datang, batu tulis tak dapat dilihat, karena air sungai naik/tinggi. Sehingga banyak pengunjung yang datang dari jauh tapi tak dapat melihat batu tulis bersejarah ini. Maka dimulailah inisiatif untuk mengangkat batu tulis dari tempat aslinya ke darat.
Proyek pengangkatan dimulailah. Namun inipun baru dimulai 12 Juni 1981.Sebelumnya dibeli sepetak tanah untuk tempat baru batu tulis, yang tempat tersebut tak begitu jauh hanya beberapa meter dari sungai (tempat aslinya). Dengan peralatan seperti sling, papan, rantai, takel, tambang, dimulailah untuk mengangkat batu tulis ke atas/ke darat. Mula-mula batu dibungkus dengan papan, diikat rantai dengan tambang baja. Ujung sebelah diikat dengan pohon rambutan. Ujung seberangnya diikat di pohon duren dan nangka (sampai sekarang kedua pohon tersebut masih hidup!).  Jumlah tenaga kerja 20 orang (mereka merupakan penduduk  desa asli tersebut, Jakarta dan Jawa). Pemborongnya adalah Ir.Suharjoyo. Setiap 1 jam batu terangkat hanya 5cm. 1 hari 50cm. Kerja dilakukan sampai 5 sore. Proses semua pekerjaan ini berlangsung selama 30 hari.
Usia & Makna Tulisan Pada Batu Tulis
prasasti ciarunteun

Diperkirakan batu tulis ini dibuat tahun 450M dengan berat sekitar 8 ton. Pada batu tulis terdapat sepasang telapak kaki di permukaan batu. Yang sisi lainnya terdapat tulisan berhuruf Pallawa bebahasa Sansekerta yaitu :
Vikkranta Syavani Pateh
Srimatah Purnawarmanah
Tarumanagarendrasya
Visnoriva Padadvayam
Tulisan tersebut oleh Drs. Uka Candra Sasmita diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
“Inilah telapak kaki yang mulia Sang Purnawarman Raja Negeri Taruma yang gagah berani, yang menguasai dunia, sebagai telapak Dewa Wisnu”
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
  • Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti yaitu kerajaan Tarumanegara).
  • Dalam kepercayaan Hindu, cap telapak kaki melambangkan kekuasaan sekaligus penghormatan sebagai dewa. Ini menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu yang tak hanya sebagai penguasa namun juga pelindung rakyatnya.
Pelestarian Batu Tulis Ciarunteun
Batu tulis Ciarunteun terdapat replikanya di museum Fatahillah, Jakarta. Sedangkan untuk menjaga keamanan batu tulis terdapat peringatan pemerintah : ‘barang siapa yang merusak barang dan lingkungan dikenakan sanksi 100 juta atau masuk penjara 10 tahun’.
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Lainnya
Sebenarnya tak hanya prasasti batu tulis Ciarunteun peninggalan kerajaan Tarumanegara di desa ini. Peninggalan/situs lainnya adalah :
  • Prasasti Kebon Kopi.Terdapat tapak kaki gajah. Diperkirakan gajah kesayaangan raja yang bernama Airawata. Prasasti asli ada di tempat tersebut, atasnya sekarang diberi atap rumah. Dinamakan prasasti kebon kopi karena pada saat ditemukan, daerah tersebut merupakan kebon kopi penduduk kampung. Usia prasasti sama seperti prasasti Ciarunteun.
prasasti kebon kopi tapak gajah
  • Prasasti Kebon Kopi II atau batu Dakon (congklak). Dinamakan ini karena wujud batunya berlubang dua. Disebut juga menhir. Lokasinya tidak dipindahkan, masih di tempat ditemukannya, namun dahulu tempat tersebut masih hutan.
  • Batu tullis Pasir Muara. Dalam bahasa Sunda, Pasir berarti luhur (tinggi).  Sedang Muara berarti pertemuan sungai dari S. Cisadane dan S. Cianten. 15 m dari pertemuan sungai tersebut di atasnya terdapat batu tulis. Berat prasasti ini sekitar 10 ton dan berbentuk lingga. Bila musim hujan, agak suilt melilhatnya karena sungai banjir. Rencananya tahun 2010 prasasti ini baru akan diangkat.
Pak Atma Sang Penjaga
pak atma

Setelah panjang lebar Pak Atma bertutur tentang Batu Tulis, berganti pembicaraan tentang jiwa, tentang yang batin. Walaupun beliau asalnya mendapat pengajaran dari gurunya di Banten, namun pimbicaraan dan pemikirannya nampak universal. Beliau menerangkan tentang perbedaan Hidup dan Allah. Makna shalat yang sebenarnya. Makna haji yang sesungguhnya. Juga tentang sakit dan obatnya. Kami mendengarkan dengan seksama. Ah, ia salah satu guru dan pembimbing hidup di bumi. Sering pengunjung yang awalnya menginap karena dari luar kota atau luar propinsi, kemudian karena cocok mendapat wejangan dari beliau, maka selanjutnya sering datang lagi untuk mendapatkan pengajaran selanjutnya. Bagi para pencari, tak ada salahnya untuk mendapat pengajaran batin dengan beliau yang hidupnya sudah menepi di atas bukit. Bagi kami Pak Atma tak hanya menjaga batu tulis secara fisik, tapi beliau juga menjaga batin (mengajarkan bagi siapapun yang dapat menerima pengajarannya, tanpa melihat secara fisik material, tapi apa isi pengajarannya).